Oleh : MarwantoPartisipasi pemilih menggunakan hak suaranya di Pilkada serentak 2015 secara nasional sebesar 69%. Angka ini jauh di bawah target yang pernah dicanangkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, yakni 77,5%. Bahkan di beberapa daerah, angka partisipasi juga tidak mencapai target nasional. Tiga kabupaten di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), angka partisipasinya juga berada di bawah target nasional, yakni Gunungkidul (70,30%), Sleman (72%), dan Bantul (73,69%).Angka partisipasi pemilih menggunakan hak suaranya memang bukan satu-satunya tolok ukur kesuksesan pemilu/pilkada, namun, di negara yang melakukan konsolidasi demokrasi seperti Indonesia, partisipasi pemilih tetap dianggap penting. Selain berpengaruh terhadap legitimasi pemerintahan yang terbentuk, juga menunjukkan seberapa luas konsolidasi demokrasi itu mendapat dukungan mayoritas warganya.Dalam konteks inilah, maka kegiatan riset partisipasi pemilih yang dilakukan oleh KPU melalui anggaran 076 Tahun 2015, yang juga muncul lagi di anggaran 076 Tahun 2016 menemukan relevansinya. Harapanya riset tersebut menemukan solusi alternatif terhadap problem partisipasi pemilih dalam pemilu/pilkada.KPU Kabupaten Kulonprogo, akhir 2015 lalu telah meluncurkan hasil riset partisipasi pemilih yang bertema “Kualitas Partisipasi Politik Dalam Penyelenggaraan Pemilu di Kabupaten Kulonprogo”. Riset KPU yang bekerjasama dengan Jurusan Ilmu Komunikasi Fisip UPN itu salah satu hasilnya adalah teridentifikasikannya tipe-tipe pemilih non-partisipatif (mereka yang tidak menggunakan hak pilihnya di pemilu).Meski lokasi penelitian hanya mencakup wilayah Kabupaten Kulonprogo, namun hasil penelitian tersebut kiranya dapat digunakan sebagai potret kondisi pemilih di Indonesia. Salah satu argumentasinya, dalam pengambilan sampel, wilayah Kulonprogo dipetakan dalam tiga karakteristik: perkotaan, pegunungan/pedesaan, dan pesisir. Tiga karakteristik masyarakat tersebut bisa mewakili karakteristik masyarakat Indonesia.Mengenai terminologi, sengaja menggunakan istilah pemilih non-partisipatif, sebagai lawan pemilih yang datang ke tempat pemungutan suara (TPS). Sebab, saat ini acuan untuk menghitung persentase partisipasi pemilih, ukurannya adalah mereka yang datang ke TPS (voter turn on). Hasil penelitian menyebutkan ada empat tipe pemilih non-partisipatif.Pertama, Pemilih Non-partisipatif Skeptis Idealistik. Tipe ini adalah mereka yang memiliki ekspektasi terlalu tinggi dan mempersepsikan pemilu sebagai hal yang gagal memenuhi fungsi dan kegunaannya.Kedua, Pemilih Non-partisipatif Teknis Administratif Regulatif. Tipe ini adalah mereka yang terkendala persoalan teknis administratif berkaitan dengan prosedur yang harus ditaati dan dipenuhi saat akan menggunakan hak pilihnya.Ketiga, Pemilih Non-partisipatif Teknis Fisik Ruang dan Waktu. Tipe ini mereka yang terkendala persoalan kesehatan fisik, jarak, dan waktu yang tidak tepat berkaitan dengan kondisi dan keadaan yang sedang dihadapi seseorang pada saat pemungutan suara.Keempat, Pemilih Non-partisipatif Teknis Informatif. Tipe ini mereka yang tidak tersentuh informasi dan ketidaktahuan tentang pemilu. Penetrasi informasi pemilu tidak sampai sehingga kesadaran tentang pentingnya pemilu tidak tumbuh dalam diri orang tersebut.Dengan ditemukannya identifikasi tipe pemilih non-partisipatif ini diharapkan menjadi acuan untuk merancang model sosialisasi dan pendidikan pemilih dalam rangka meningkatkan partisipasi pemilih dalam pemilu. Tentu partisipasi pemilih di sini mesti dilihat dari aspek kuantitas maupun kualitas.Jika sekedar ingin meningkatkan kuantitas partisipasi pemilih, penyelenggara cukup memberi solusi pada tiga tipe pemilih non-partisipatif yang terakhir. Misal, bagi mereka yang terkendala teknis administratif regulatif, penyelenggara memperbaiki regulasi kepemiluan. Prosedur administratif regulatif harus mampu mengakomodir kendala teknis pemilih di lapangan.Sedang bagi mereka yang terkendala teknis ruang dan waktu, penyelenggara dapat melakukan perbaikan infrastruktur dan berbagai dukungan sarana prasarana yang memudahkan masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya.Sementara bagi mereka yang terkendala informasi dan ketidaktahuan tentang pemilu, penyelenggara dapat mengkaji kembali sejumlah saluran komunikasi, desain dan model sosialisasi, karakteristik khalayak sasaran dan kemampuan komunikator.Solusi yang agak rumit diterapkan adalah bagi tipe pemilih non-partisipatif skeptis idealistik. Mereka ini tidak terkendala oleh teknis administratif, ruang dan waktu, maupun informasi. Kendala utama mereka tidak mau berpartisipasi karena idealismenya tentang pemilu dan demokrasi tidak nyambung dalam praktik politik di negeri ini.Hemat saya, ada tiga upaya yang perlu ditempuh agar tipe pemilih non-partisipatif skeptis idealistik ini kedepan mau berpartisipasi dalam pemilu.Pertama, perbaikan perilaku aktor politik (baik politisi parpol maupun birokrasi). Harapannya, institusi politik (terutama lembaga demokrasi yang diisi oleh pejabat hasil pemilu), mampu bekerja efektif dalam rangka menyejahterakan rakyat.Kedua, mengembalikan kepercayaan penyelenggara pemilu. Saat ini integritas penyelenggara pemilu sudah lebih baik, namun keputusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang memberi sanksi penyelenggara pemilu di daerah telah menciderai integritas penyelenggara pemilu.Ketiga, melibatkan pemilih non-partisipatif skeptis idealistik pada proses pemilu. Pelibatan mereka bisa dilakukan di berbagai posisi: penyelenggara, pemantau maupun agen-agen sosialisasi.Dalam konteks ini, pendidikan politik hanya akan menggurui, padahal pemilih tipe skeptis idealistik bukan golongan orang yang bodoh secara politik. Terlalu banyak informasi dan pendidikan politik, tanpa dibarengi perbaikan kualitas proses politik, hanya membuat mereka kian anti politik.Tentu tiga upaya tersebut tidak semata berlaku bagi tipe pemilih skeptis–idealistik. Pun bagi tiga tipe pemilih non-partisipatif yang lain, agar kuantitas partisipasi mereka dibarengi kualitas: kehadiran mereka ke TPS berbekal kesadaran, bukan mobilisasi atau dorongan politik uang.***Marwanto, Komisioner KPU Kabupaten Kulonprogo, Penanggunjawab Divisi Perencanaan Data-Informasi Organisasi dan SDM. Marwanto, S.Sos. :RUMAH : Maesan III, Rt. 009 / Rw. 005 Wahyuharjo, Lendah, Kulonprogo DIY 55633, HP: 08175460569 KANTOR : KPU Kabupaten Kulonprogo, Jalan KH Wahid Hasyim Bendungan Wates Kulonprogo DIY, Telp: (0274) 774433