Opini

Budaya Organisasi di KPU Sumatera Selatan

PRATAMA (Komisioner Divisi Hukum dan Pengawasan KPU Kabupaten Musi Banyuasin)Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia secara organisasional melakukan perubahan rutinitas setiap ketua dan anggota Komisi Pemilihan Umum se-Indonesia. Perubahan rutinitas tersebut mulai menunjukkan manfaatnya dalam perubahan budaya organisasi satuan kerja KPU se-Sumatera Selatan khususnya. Perlahan dan pasti KPU RI mengubah kebiasaan kerja setiap sumber daya manusia di semua tingkatan, yang akan berguna untuk meningkatkan kompetensi penyelenggara dan kualitas penyelenggaraan Pemilihan. Saya memperhatikan ada tiga kebiasaan yang berhasil ditransformasi oleh KPU RI untuk Sumatera Selatan. Pertama adalah perbuatan indisipliner dalam menghadiri dan tidak berpartisipasi aktif dalam kegiatan. Karena sudah pernah terjadi bahwa beberapa ketua atau anggota KPU Kabupaten/Kota tidak menghadiri sesi pembukaan atau sesi presentasi atau sesi diskusi pada kegiatan tingkat provinsi, dengan cara menandatangani lembar konfirmasi kehadiran (absensi), lalu pergi meninggalkan lokasi kegiatan. Kejadian khusus tersebut memang tidak disiplin dan tidak profesional, yang telah nyata dilarang dalam tata kerja KPU. Sehingga KPU RI menerapkan proses pencocokan dan penelitian (coklit) kehadiran peserta pada setiap kegiatan. Komisioner KPU Provinsi yang menjadi pengampu divisi akan memanggil satu persatu anggota KPU Kabupaten/Kota. Jika ada ketua atau anggota KPU Kabupaten/Kota tertentu yang tidak hadir pada saat disebutkan namanya, maka diwajibkan untuk diberi surat peringatan yang ditembuskan kepada KPU RI. Kebiasaan baru ini meningkatkan kesadaran para ketua dan anggota KPU Kabupaten/Kota untuk lebih disiplin, lebih mawas diri dan membawa organisasi dari persepsi disiplin saat ini untuk menuju tingkatan profesionalitas yang lebih tinggi.Kedua adalah kebiasaan melakukan identifikasi dan penilaian resiko terpisah. Karena ketua dan anggota KPU Kabupaten/Kota biasanya mengerjakan tugas pokok dan fungsi terkait divisinya sendiri, hanya sekadarnya memahami regulasi yang mengatur divisi lain dan isu strategis terkait divisi lain. Kebiasaan ini membatasi kemampuan KPU Kabupaten/Kota untuk identifikasi dan penilaian resiko yang akan muncul dari tahapan Pemilihan. Sehingga akan mengurangi kualitas evaluasi tahapan yang sedang dilangsungkan dan menimbulkan keraguan mengeksekusi tahapan yang akan datang. Maka KPU RI melalui KPU Provinsi mengubah kebiasaan untuk menyusun Daftar Inventaris Masalah (DIM), yang harus disusun secara terpadu oleh ketua dan anggota KPU Kabupaten/Kota. Identifikasi resiko menjadi lebih efektif, menjadi kebiasaan, yang dibahas ketua dan anggota secara kolektif kolegial, melampaui keterbatasan divisi. Pengampu Divisi Hukum dan Pengawasan akan melakukan check and recheck terhadap DIM, supaya semakin sesuai dengan kondisi yang diatur oleh regulasi. DIM tersebut akan menjadi bahan evaluasi maupun bahan perencanaan di tingkat Kabupaten/Kota, tingkat Provinsi bahkan tingkat Nasional. Melampaui penyusunan DIM dari satu divisi semata, sebagai perubahan kebiasaan ketua dan anggota KPU, sehingga menghasilkan inventarisasi masalah yang lebih komprehensif dan menjadikan solusinya lebih tepat menyelesaikan suatu isu dan meyakinkan untuk bisa dilaksanakan di tingkat penyelenggara ad hoc.Ketiga, yang paling signifikan, adalah mengubah kedudukan Tim Seleksi Calon Anggota KPU Kabupaten/Kota yang pada periode lampau terdiri dari satu tim khusus untuk setiap Kabupaten/Kota yang berkedudukan di ibukota Kabupaten/Kota masing-masing. Kebijakan KPU RI terkait seleksi pada periode pra-Pemilu Serentak Tahun 2019, KPU RI mengatur supaya kedudukan satu Tim Seleksi untuk mengawasi pelaksanaan seleksi calon anggota pada lima sampai enam Kabupaten/Kota di Sumatera Selatan. Penambahan jangkauan wewenang Tim Seleksi ini akan berhasil mengecilkan resiko intervensi dari Bupati/Walikota terhadap proses seleksi calon anggota KPU Kabupaten/Kota. Tim Seleksi secara mandiri dan independen melaksanakan seleksi yang akuntabel di wilayah netral. Peserta seleksi dipantau melalui berbagai aspek penilaian dan berbagai media sosial oleh masyarakat, sedangkan hasil seleksi secara berkala diumumkan oleh Tim Seleksi ke khalayak luas untuk diberikan tanggapan. Katabelece dan kongkalikong tidak bermanfaat dalam situasi ini, karena transparansi keadaannya. Maka menurut saya akan dihasilkan suatu generasi ketua dan anggota KPU Kabupaten/Kota yang berkompetensi tinggi dan berjiwa korsa.Salut atas dinamika perubahan kebiasaan dan perbaikan budaya yang sedang ditempuh oleh KPU RI beserta seluruh jajarannya, yang tersebar di 548 satuan kerja, dengan jumlah sumber daya manusia Aparatur Sipil Negara dan Komisioner berjumlah lebih dari 11 ribu orang*. Semoga akan terus menjadi bakti kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia. KPU RI mewujudkan visi “Menjadi Penyelenggara Pemilihan Umum yang Mandiri, Professional, dan Berintegritas untuk Terwujudnya Pemilu yang LUBER dan JURDIL”. Demikianlah suatu perspektif mengenai transformasi yang diwujudkan KPU untuk menciptakan Pemilih Berdaulat Negara Kuat, di Sumatera Selatan. KPU Melayani.*Data Sistem Informasi Penyelenggara Pemilu (SIPP.KPU.GO.ID) Bulan November Tahun 2018.

Partisipasi Politik Perempuan

Keberhasilan program pemerintah dan pembangunan yang dicita-citakan tergantung pada partisipasi seluruh masyarakat. Semakin tinggi partisipasi masyarakat, maka akan semakin berhasil pencapaian tujuan pembangunan yang ingin dicapai. Karena itu, dalam program pemerintah sebagai bagian dari pembangunan sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur masyarakat, yang pada hakikatnya pembangunan memang dilaksanakan dan ditujukan dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat.Masyarakat sebagai pelaku pembangunan tidak lepas dari peranan perempuan yang terlibat di dalamnya, sehingga partisipasi perempuan perlu diperhitungkan. Perempuan Indonesia memiliki peranan dalam pembangunan di bidang politik, baik terlibat dalam kepartaian, legislatif, maupun dalam pemerintahan. Partisipasi dalam bidang politik ini tidak sekadar pelengkap saja melainkan harus berperan aktif.Di dalam negara yang sedang belajar menuju demokratis yang sesungguhnya seperti Indonesia, adanya partisipasi perempuan yang lebih besar maka dianggap menjadi lebih baik. Tingginya tingkat partisipasi perempuan dapat ditunjukkan dalam mengikuti dan memahami masalah politik dan keterlibatannya dalam kegiatan-kegiatan politik tersebut. Sebaliknya apabila tingkat partisipasi politik bagi perempuan itu rendah maka dianggap kurang baik, dicirikan dengan banyak kaum perempuan yang tidak menaruh perhatian pada masalah politik atau kenegaraan.Partisipasi politik yang dapat dilakukan oleh perempuan dapat melalui beberapa jalur:Pertama, bagi ibu rumah tangga yang tidak bekerja secara formal dapat berperan aktif di lingkungannya sendiri melalui berbagai kegiatan yang mendukung program pemerintah, seperti PKK, Posyandu, KB, dan lain-lain kegiatan yang menggerakanibu-ibu ke arah kepentingan bersama. Begitu pula turut memberi penjelasan akan pentingnya menjadi pemilih dalam pemilu yang berlangsung lima tahun sekali guna melangsungkan kegiatan demokrasi dan kenegaraan.Kedua, perempuan yang menginginkan karier di bidang politik dapat menjadi anggota salah satu partai politik yang sesuai pilihannya, terutama dalam memperjuangkan kaum perempuan. Dan yang bersangkutan dapat mencalonkan diri sebagai anggota legislatif (DPRD/DPR) untuk dipilih oleh masyarakat pada saat pemilu.Ketiga, kaum perempuan yang memilih bekerja pemerintahan dapat menjalankan fungsi sesuai dengan kemampuan, latar belakang pendidikan dan beban tugas yang diberikan kepadanya dengan penuh rasa tanggung jawab. Mereka dituntut memiliki keterampilan dan kemampuan memimpin.Keempat, kaum perempuan yang bekerja di bidang yudikatif atau berhubungan dengan hukum sebagai pengacara, jaksa, hakim, atau sebagai polisi penyidik perkara, dapat bekerja dengan  jujur dan adil demi tegaknya hukum.Dengan demikian, partisipasi yang dilakukan kaum perempuan sebaiknya partisipasi aktif sebagai penentu kebijakan di tempat yang bersangkutan berusaha, agar benar-benar wanita keberadaannya dapat diperhitungkan. Kaum perempuan dapat berperan aktif demi suksesnya Pemilu 2019 yang akan memilih para pemimpin dan wakil rakyat. (kpu jepara mds/ed diR)

PKPU dalam Hirarki Peraturan Perundang-undangan

PKPU dalam Hirarki Peraturan Perundang-undanganOleh:Meidy Yafeth Tinangon, SSi., M.Si.(Komisioner KPU Prov. Sulut / Ketua Divisi Hukum) Akhir-akhir ini dalam kaitan pelaksanaan Sengketa Proses Pemilihan Umum (SPPU) yang digelar oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum, khususnya terkait SPPU yang melibatkan bakal calon mantan narapidana korupsi, Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) menjadi suatu bagian yang diperbincangkan bahkan diperdebatkan. Sepertinya, masih banyak pihak yang belum menyadari kedudukan dan peran PKPU yang akhirnya bermuara pada pengabaian PKPU. Dimana sebenarnya posisi PKPU dalam Hirarki Peraturan Perundang-undangan di Republik ini? Hirarki Peraturan Perundang-undanganTerkait susunan atau hirarki peraturan perundang-undangan, awalnya menggunakan ketentuan Tap MPR No. III/MPR/2000, Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. Namun dalam perkembangan Tap MPR tersebut sudah tidak berlaku lagi berdasarkan Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 yang dalam ketentuan Pasal 4 angka 4 menyebutkan bahwa Tap MPR Nomor III/MPR/2000 dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Undang-Undang.  Dengan pengertian lain bahwa TAP MPR Nomor III/MPR/2000 memiliki sifat berlaku sementara, dan masa berlakunya habis, ketika Pembuat Undang-undang mengundangkan Undang-undang terkait tata urutan peraturan perundang-undangan. Undang-Undang yang mengatur tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang substansinya turut mengatur tata urutan peraturan perundang-undangan telah terbentuk dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dengan demikian Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tidak berlaku lagi dan tidak bisa dijadikan rujukan. Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan menurut ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sebagai berikut:Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;Undang-Undang/Peraturan Pemerintah  Pengganti  Undang-Undang; Peraturan Pemerintah;Peraturan Presiden;Peraturan Daerah Provinsi; danPeraturan Daerah Kabupaten/Kota.Lho, ternyata PKPU tidak tercatat dalam ketentuan tentang hiraki peraturan perundang-undangan di atas. Memang jika kita hanya membaca ketentuan Pasal 7 ayat 1 UU 12 Tahun 2011, kita tidak akan menemukan frasa “peraturan KPU” di dalamnya. Peraturan KPU sebagai  bagian dari hirarki peraturan perundang-undangan akan nyata dalam substansi Pasal selanjutnya, yaitu Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) UU 12 Tahun 2011. Ketentuan ayat 1 menyebutkan bahwa: jenis  Peraturan  Perundang-undangan  selain  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis  Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung,  Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan,  Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan,  lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala  Desa atau yang setingkat. Selanjunya ketentuan ayat 2 menyebutkan bahwa Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, jelaslah bahwa PKPU dikategorikan sebagai peraturan yang ditetapkan oleh komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang. Lebih lanjut, PKPU jelas diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat karena diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan dibentuk berdasarkan kewenangan yang diberikan Undang-undang kepada KPU. PKPU merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan yang menjadi kewenangan KPU untuk menyusunnya dalam rangka melaksanakan Pemilu. PKPU merupakan pelaksanaan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud Pasal 75 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan umum yang menyebutkan bahwa: “untuk menyelenggarakan Pemilu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, KPU membentuk Peraturan KPU dan Keputusan KPU. Peraturan KPU merupakan pelaksanaan peraturan perundang-undangan.” Secara khusus Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang  Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten / Kota yang menjadi bahan perdebatan dalam SPPU DIAKUI KEBERADAANYA dan mempunyai KEKUATAN HUKUM MENGIKAT, karena diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan (Jo. Pasal 8 ayat 2 UU No. 12 Tahun 2011; Pasal 75 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 249 ayat (3) dan Pasal 257 ayat (3) UU No 7 Tahun 2017). Selain itu, Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 telah diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 834. Sifat “mengikat”  tersebut berarti harus dipatuhi oleh setiap warga negara maupun institusi yang terkait dengan Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 termasuk bakal calon anggota DPD, DPR dan DPRD dan seluruh Partai Politik Peserta Pemilu, Penyelenggara Pemilu (KPU, Bawaslu dan DKPP) serta stakeholder dan masyarakat umum. Kewenangan Judicial ReviewApabila dalam pelaksanaannya ada warga negara atau institusi beranggapan bahwa terdapat Pasal-pasal dalam PKPU Nomor 20 Tahun 2018 yang bertentangan dengan Undang-undang, maka warga negara atau institusi yang merasa dirugikan dapat mengajukan uji materi (judicial review) PKPU ke Mahkamah Agung yang memiliki KOMPETENSI/ KEWENANGAN ABSOLUT untuk melakukan pengujian peraturan di bawah Undang-undang. Hanya Mahkamah Agung Republik Indonesia yang dapat menetapkan bahwa Peraturan KPU bertentangan dengan Undang-undang dan tidak berkekuatan hukum mengikat. Demi keadilan dalam Ketuhanan Yang Maha Esa, dalam suatu negara hukum, maka sewajarnyalah setiap warga negara menjunjung tinggi setiap peraturan perundang-undangan yang berlaku, sah dan berkekuatan hukum mengikat, termasuk PKPU. Kompetensi/kewenangan absolut Mahkamah Agung untuk melakukan pengujian peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang didasari pada ketentuan:Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa: “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang.”Pasal 20 ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa: “Mahkamah Agung berwenang: menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.”Pasal 9 ayat (2) UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan yang menyebutkan bahwa: “Dalam  hal  suatu  Peraturan  Perundang-undangan  di  bawah  Undang-Undang  diduga  bertentangan  dengan Undang-Undang,     pengujiannya     dilakukan     oleh Mahkamah Agung.”Lebih spesifik terkait pengujian PKPU terhadap Undang-Undang, Pasal 76 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengatur bahwa: “Dalam hal Peraturan KPU bertentangan dengan Undang-undang ini, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.” Rumusan pasal ini menegaskan bahwa Peraturan KPU dan (juga) Peraturan Bawaslu yang kedudukannya setara (sebagai pelaksanaan Undang-Undang) hanya dapat dibatalkan melalui proses pengujian di Mahkamah Agung, sesuai kewenangan absolut yang dimilikinya. Sidang adjudikasi SPPU juga tidak memiliki kewenangan untuk menguji atau menyatakan  bahwa peraturan KPU bertentangan dengan undang-undang. Konsekwensi Hukum PKPUSebagai sebuah peraturan perundang-undangan yang jelas kedudukannya dalam hirarki peraturan perundang-undangan, serta sifatnya yang diakui dan mengikat, maka PKPU memiliki konsekwensi-konsekwensi bagi setiap masyarakat atau institusi yang terkait dengan PKPU. Pihak pertama yang wajib hukumnya serta memiliki tanggung jawab moral untuk melaksanakan PKPU adalah KPU dan jajarannya. Tidak ada alasan bagi KPU dan jajarannya untuk mangkir dari pelaksanaan peraturan yang dibuatnya. Pelanggaran terhadap PKPU yang masih berlaku merupakan pelanggaran kode etik berat bagi setiap penyelenggara Pemilu. Partai Politik harus memenuhi ketentuan dalam PKPU, misalnya dalam proses pencalonan melakukan seleksi dan tidak melibatkan bakal calon mantan terpidana korupsi, sesuai Pakta Integritas yang ditandatangani oleh Pimpinan Parpol. Dalam Pakta Integritas, Parpol dengan jelas telah berjanji dan berkomitmen bahwa apabila ditemukan adanya bakal calon yang tidak sesuai dengan Pakta Integritas maka Parpol bersedia untuk nama bakal calon tersebut dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga terikat dengan PKPU. Dalam proses pengawasannya, seyogyanya Bawaslu mengawasi apakah ketentuan-ketentuan dalam PKPU sebagai koridor hukum penyelenggaraan tahapan Pemilu dilaksanakan oleh KPU atau Peserta Pemilu atau tidak. Demikian halnya dalam proses adjudikasi SPPU, seyogyanyalah Bawaslu menggunakan PKPU sebagai acuan, bukan justru mengiyakan permohonan Pemohon yang menganggap PKPU bertentangan dengan UU, sementara proses pengujian PKPU belum final. Pada prinsipnya, PKPU yang diakui kedudukannya,  sah dan bersifat mengikat tidak bisa diingkari oleh setiap warga negara apalagi oleh penyelenggara Pemilu. PKPU diadakan untuk menjadi acuan pelaksanaan teknis setiap tahapan sehingga tahapan Pemilu berlangsung sesuai asas tertib dan punya kepastian hukum. Dibutuhkan kesadaran hukum setiap warga negara untuk menaati peratuaran perundang-undangan termasuk PKPU jika kita ingin Pemilu berlangsung tertib sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat di negara demokrasi berdasarkan hukum….. Salam demokrasi  !!!

ANTARA DEMOKRASI DAN MEDSOS, KAWAN ATAU LAWAN ?

ANTARA DEMOKRASI DAN MEDSOS,KAWAN ATAU LAWAN ?Oleh : Ahmad Hadziq(Komisioner KPU Kab. Tanjung Jabung Barat)Fenomena perang medsos mulai mewarnai Pemilu serentak 2019 meskipun kampanye belum dimulai, terutama di daerah perkotaan yang rata-rata penduduknya pengguna medsos aktif. Hal ini tidak terlepas dari pesatnya pertumbuhan pengguna internet Indonesia yang mencapai angka 143,26 juta jiwa sebagaimana data hasil survei yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII). Jika di amati, seminggu terakhir pengguna medsos mulai ramai memperbincangkan tentang pertarungan politik jelang Pemilu serentak 2019. Terutama semakin terasa sejak KPU menetapkan Daftar Calon Sementara (DCS) anggota legislatif DPR dan DPRD bahkan saat hari terakhir pendaftaran calon Presiden dan wakil Presiden. Fenomena tersebut tentunya di satu sisi terasa positif jika dilihat dari respon masyarakat yang menunjukkan kepedulian terhadap pemilu yang akan dilaksanakan. Namun sekaligus inipun bisa menjadi ancaman bagi demokrasi yang sehat manakala yang disuguhkan di medsos baik secara individu maupun kolektif semakin ekspresif dan reduksionis dalam berpikir dan semakin represif  dan sinis dalam bertindak. Menurut Silih Agung Wasesa, kehadiran media baru berbasis digital membuat informasi politik tidak hanya semakin masif, tetapi juga terdistribusi dengan cepat dan bersifat interaktif. Dengan karakteristiknya itu tidak sedikit aktor politik di sejumlah negara memanfaatkan media sosial untuk proses kampanye politik. Selain itu media ini dianggap mampu untuk menjaring pemilih muda dan biayanya murah (“Aktor Politik Wajib Manfaatkan Media Sosial”, ugm.ac.id, 7 Juni 2013).  Studi di Amerika Serikat menunjukkan media sosial merupakan alat kampanye yang efektif. Sebelum era media sosial, politisi di Negeri Paman Sam sudah memanfaatkan internet untuk media berkampanye. (Chavez, 2012; Stietglitz & Dang Xuan, 2012). Di Ghana, dua kandidat presiden menggunakan SMS dan Twitter untuk mendulang suara. Ini merupakan kali pertama media sosial digunakan untuk berkampanye di negara tersebut. Di Zimbabwe, partai oposisi menggunakan website untuk menyebarkan pesan yang mengecam pemerintah berkuasa. Selain itu Lembaga Swadaya Masyarakat membentuk jaringan untuk memonitor pemungutan suara di 11 ribu bilik suara melalui SMS dan MMS. Hasilnya calon petahana (incumbent) Robert Mugabe kalah, tetapi intervensi Mugabe membuat Pemilu diulang dan dia menang (Riaz, 2010).Media sosial sebagai bayi yang terlahir dari internet sejak awal telah tampil menjadi alat dan penentu seseorang untuk benar dan salah dalam dunia nyata maupun dunia maya. Benar dan salah memang abu-abu dalam media sosial, namun faktanya publik pun tidak diajak berpikir jernih dalam menyikapi permasalahan tersebut sehingga hanyut dalam pola diskusi yang tidak selesai. Pola dialektis tersebut sebenarnya menunjukkan bahwa warganet tidak berupaya mencari solusi atas suatu masalah, namun berupaya mencari vibrasi atas permasalahan tersebut. Vibrasi itu pula yang pada akhirnya menjadikan solusi hanya terjadi dalam ruang monolog miskin dialog. Pada akhirnya yang menjadi masalah adalah baik melalui media sosial maupun juga ruang sosial, sosialisasi publik terhadap masalah itu hanya sekadar permisif. Munculnya identitas secara jelas memang memegang kunci tanpa ideologi dalam media sosial. Dalam kaitannya dengan perkembangan demokrasi dan pemilu bisa jadi vibrasi terhadap permasalahan di media sosial sengaja diciptakan oleh kelompok-kelompok elit tertentu di kalangan pengguna media sosial di sisi lain ada pula kelompok warganet yang terjebak dalam informasi yang di buat seolah-olah fakta. Fenomena tersebut sangat mungkin terjadi dikarenakan pengguna media sosial tidak memiliki batas usia dan tingkat pendidikan yang beragam. Sebagai produk teknologi yang secara filosofis bebas nilai, internet menjadi berwajah ganda ketika berada di jagat pragmatisme politik: digunakan sebagai oksigen demokrasi, tapi secara kontradiktif juga digunakan untuk “membunuh” demokrasi. Pertanyaan fundamental yang kemudian muncul adalah internet akan menjadi kawan atau lawan demokrasi? Ada tiga aliran menanggapi pertanyaan itu yaitu pesimistik, optimistik, dan realistik. Aliran pertama tak yakin internet bisa menjadi kawan setia demokrasi, malah sebaliknya: menusuk dari belakang. Aliran optimistik percaya betul internet akan memperkuat demokrasi di tataran global maupun lokal. Aliran ketiga mencoba berdiri seimbang di antara dua titik ekstrem: mendorong sisi demokratis internet, sembari tetap mengakui sekaligus memininalisasi sisi antidemokrasinya (Anthony G. Wilhelm: 2003)Ketiga aliran tersebut terjadi karena memang internet memiliki sembilan karakteristik khusus. Bagi yang pesimistik internet bisa menjadi teman setia demokrasi karena internet memang memiliki kekuatan yang tidak terbendung serta meminimalisasi kontrol negara atas warganya. Sedangkan bagi kelompok yang optimis justru melihat bahwa internet mampu menembus batas fisik, memperluas akses edukasi politik sehingga mampu memaksa pemerintah untuk lebih demokrastis. Namun yang lebih bijak tentunya kelompok yang menilai tidak hanya pada satu sisi, namun di balik pengakuan bahwa internet mampu mendorong sisi demokratis tapi juga harus di akui bahwa perkembangan internet bisa menjadi ancaman karena sifatnya yang cenderung nirkontrol dan lintas batas.Ambivalensi internet membuat setiap negara memiliki respons berbeda terhadap internet atau media sosial: ada yang memberi ruang karena menyadari manfaat ekonominya, ada yang cemas dengan potensi politiknya, dan ada yang menghadapi dilema antara ingin menikmati manfaat ekonomi dari internet tetapi masih mengontrol kontennya untuk mengantisipasi dampak politisinya. Internet mempengaruhi jalannya demokrasi dan pertumbuhan ekonomi secara simultan. Tapi sebagian negara mencoba mengambil satu manfaatnya, dan mengeleminasi manfaat lainnya (Simon: 2003). Pentingnya internet sebagai alat dalam kemajuan demokrasi kita juga disadari oleh penyelenggara pemilu. Undang-undang pemilu memberi ruang bagi internet dan media sosial dalam pelaksanaan pemilu di negara kita. Sebagaimana yang tergambar dalam UU Pemilu No. 7/2017 pasal 275 salah satu metode kampanye yang bisa dilakukan melalui media sosial dan iklan di internet. Hal serupa juga di atur dalam Peraturan KPU No. 23 pasal 23 ayat (1) huruf e. Bahkan lebih spesifik lagi pada pasal 35 mengatur tentang materi dan desain yang minimal harus memuat visi, misi serta program sampai pada akun yang harus didaftarkan sebanyak-banyaknya 10 akun di setiap jenis aplikasi. Dalam pasal 24 PKPU tersebut, penggunaan media sosial sebagai metode kampanye baru boleh dilakukan setelah 3 hari penetapan Daftar Calon Tetap anggota DPR, DPD prov dan DPRD dan setelah ditetapkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sampai dimulainya masa tenang. Jika berdasarkan PKPU No. 5/2018 tentang jadwal dan tahapan menerangkan jadwal penetapan Daftar Calon Tetap pada tanggal 20 September 2018, maka kampanye melalui media sosial baru bisa dilakukan mulai tanggal 23 september 2018 hingga 13 April 2019.Kampanye Pemilu yang selanjutnya disebut Kampanye merupakan kegiatan Peserta Pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh Peserta Pemilu untuk meyakinkan Pemilih dengan menawarkan visi, misi, program, dan/atau citra diri Peserta Pemilu. Media Sosial disediakan sebagai alat untuk saluran komunikasi dalam jaringan internet yang digunakan untuk interaksi dan berbagi konten berbasis komunitas. Aturan tersebut tentunya sebagai upaya untuk menjadikan internet dan media sosial sebagai teman setia dalam mewujudkan edukasi politik dan kemajuan demokrasi. Namun jika tidak di barengi dengan pengawasan dan kesadaran oleh semua pihak, internet dan media sosial justru menjadi lawan demokrasi kita karena sangat memungkinkan berkembang diluar tatanan dan aturan yang ada. Karenanya perlu duduk bersama antara penyelenggara pemilu baik KPU dan Bawaslu bersama peserta pemilu dan admin-admin media sosial untuk membuat komitmen bersama mengawasi penyebaran akun-akun yang memanfaatkan media sosial untuk merusak demokrasi yang kita inginkan.

Mengawal Sidalih

Oleh: Asep Sabar PEKAN ini tahapan Daftar Pemilih Sementara Hasil Perbaikan (DPS-HP) Pemilu 2019 akan segera ditetapkan. Setelah DPS-HP, maka KPU Kota Kotamobagu akan mengesahkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2019 pada 15-21 Agustus 2018 mendatang. Sebagaimana sudah ditetapkan pada 17 Juni 2018 lalu, Jumlah DPS Kota Kotamobagu sebanyak 87.547 pemilih, dengan rincian 44.060 pemilih laki-laki dan 43.487 pemilih perempuan. Angka tersebut naik dari DPT Pilkada 2018 sebanyak 85.800 pemilih. Nah, di Pemilu 2019 mendatang diprediksi jumlah pemilih masih akan meningkat, mengingat jumlah pemilih tambahan pada Pilkada 2018 tidak sedikit. Demikian halnya jumlah tempat pemungutan suara (TPS) dari 242 pada Pilkada 2018 ketambahan sebanyak 82 TPS menjadi 324 TPS. Ini dimaklumi, karena memang jumlah pemilih di TPS antara Pilkada dengan Pemilu beda batasannya. Di Pilkada harus 500 pemilih, sementara di Pemilu hanya sampai 300 pemilih. Namun yang terpenting dari semua itu adalah digunakannya Sidalih (Sistem Informasi Data Pemilih) dalam mengelola data pemilih pemilihan umum. Tercatat hingga kini Sidalih belum genap 10 tahun. Usia yang terbilang masih rentan dengan berbagai kekeliruan serta kesalahan. Dan itu wajar, apalagi dijaman serba teknologi canggih disertai dengan berbagai penyimpangannya. Meski demikian, berbagai upaya serta terobosan terus dilakukan para pengelola Sidalih KPU RI yang di-backup KPU Daerah di semua jenjang dalam rangka memberikan kualitas data pemilih agar lebih valid, akurat serta berkualitas. Kelak, bila Sidalih sudah stabil dan “beranjak dewasa”, dipastikan akan lebih memudahkan para penyelenggara serta masyarakat untuk mengetahui keberadaanya di daftar pemilih. Jujur saja, penggunaan aplikasi ini jauh lebih memudahkan dibanding dengan sistem manual yang selama ini diterapkan. Beban kerja pemutakhiran data pemilih melalui Sidalih jadi lebih ringan dan bisa dikerjakan dimana saja serta kapan saja. Namun semua “mimpi” itu belum bisa terwujud secara sempurna, masih butuh banyak kesempatan dalam rangka perbaikan di sana-sini. Karena itu yang perlu diperhatikan mulai sekarang adalah mempersiapkan sumberdaya manusia (SDM), terutama untuk operator tingkat desa/kelurahan serta kecamatan. Setelah itu sarana/pra sarana seperti jaringan internet. Kebijakan KPU RI terkait pemutakhiran data pemilih berkelanjutan adalah sarana tepat untuk terus memperbaiki perangkat keras dan perangkat lunak termasuk server yang digunakan Sidalih, beserta operatornya. Saat peluncuran Sidalih 2013 lalu, KPU RI pernah mensosialisasikan manfaat dan kegunaan Sidalih, yakni; Pertama, berfungsi sebagai bahan sosialisasi. Data pemilih bisa diakses melalui internet. Kedua, perekamanan data. Seluruh data pemilih yang ada direkam. Ketiga, mendeteksi data ganda. Jadi, data yang dimiliki betul-betul sesuai dengan data lapangan. Ini menjadi satu-satunya dalam sejarah di Indonesia, dimana kita bisa mengekspose data pemilih yang terintegrasi di tingkat pusat.[1] Kronologis penyusunan data pemilih sendiri diawali dengan proses singkronisasi Data Agregat Kependudukan per Kecamatan (DAK). Dari DAK menjadi Penduduk Pemilih Potensial Pemilu (DP4). Nah, DP4 inilah yang menjadi rujukan daftar pemilihan terakhir untuk dicoklit. Hasil dari pencocokan penelitian (coklit) lahirlah Daftar Pemilih Sementara (DPS) hingga seterusnya sampai pada DPT. Intinya, tidak ada kata berhenti untuk terus memperbaiki daftar pemilih, kuncinya tergantung kepada pemilih sendiri. Mirip data kependudukan, dalam Sidalih ada banyak fitur yang digunakan mulai dari nomor induk kependudukan (NIK), nomor kartu keluarga (NKK), tanggal lahir, TPS dan lainnya. Sidalih bahkan bisa langsung menyortir data pemilih yang tidak memenuhi syarat (TMS) seperti; pemilih yang meninggal, ganda, tidak dikenal, TNI/Polri, belum cukup umur. Bahkan Sidalih juga bisa digunakan untuk mengubah data pemilih yang salah nama, NIK, NKK, tanggal lahir dan lainnya. Meski demikian, sebagaimana sudah diungkapkan di awal, bukan tidak mungkin dalam perjalanannya Sidalih tidak menemukan masalah. Yang pernah terjadi di awal-awal penggunaannya yakni saat Pemilu 2014, adalah jebolnya akses masuk ke IT KPU, termasuk ke Sidalih dan system lain yang dikelola KPU RI oleh orang-orang tidak bertanggungjawab.[2] Sejak kejadian tersebut KPU RI kemudian merubah strategi serta kebijakan dengan memberlakukan satu pintu bagi jalan masuk ke Sidalih, yakni operator. Hanya operatorlah yang bisa mengelola Sidalih. Sehingga saat Pilkada Serentak Tahun 2015 dan 2017, kelemahan tersebut sudah diminimalisir, meski belum 100 persen. Patut diakui, ibarat kata semakin banyak didera permasalahan maka akan semakin ketahuan berbagai kelemahan dan permasalahan yang terjadi, sehingga ke depan tidak akan ada satu celah pun yang bisa merusak instalasi, server serta jaringan Sidalih. Mengutip pendapat Viryan, Komisioner KPU RI, bahwa semakin detail data dan proses data teridentifikasi maka akan semakin memudahkan bekerja dalam mengolah data pemilih. Data dan proses data yang tidak detail dapat menjadi bom waktu atau masalah yang merugikan dikemudian hari. Bekerja detail juga menuntut kehati-hatian dalam mengolah data agar terhindar dari permasalahan yang berdampak pada menurunkan kualitas daftar pemilih. Di sinilah titik tolak urgensi permasalahan data.[3] PENGALAMAN KOTA KOTAMOBAGU Selain problematika sarana/prasarana maupun SDM, kepentingan politik eksternal juga turut mempengaruhi baik-buruknya penggunaan Sidalih. Masih ingat ketika Pemilu 2014, dimana KPU Kota Kotamobagu harus mengulang-ulang Pleno Penetapan DPT? Meski harus menguras tenaga dan pikiran, data-data yang sudah tersimpan di Sidalih tetap terjaga, aman dan tidak mengalami kejanggalan sama sekali. Kalaupun ada perubahan, itu setelah dilakukan perbaikan-perbaikan oleh operator KPU Kota Kotamobagu sebagai rekomendasi rapat pleno. Berikut pleno-pleno tersebut; Pertama, Pleno tanggal 13 September 2013 dengan berta acara bernomor: 44/BA/KPU-KK/IX/2013. Pada DPT ini jumlah pemilih mengalami kenaikan dari DPS-HP yang berjumlah 91.009 menjadi 91.690 pemilih. Kedua, Pleno tanggal 11 Oktober 2013. DPT Pileg kembali ditetapkan dengan berita acara Nomor: 46/BA/KPU-KK/X/2013. Dalam tabel nampak jumlah pemilih pun mengalami perubahan dari 91.690 menjadi 91.668 pemilih. Ketiga, Pleno tanggal 01 November 2013. Jumlah pemilih mengalami perbedaan, yakni dari 91.668 menjadi 91.141 pemilih. Pleno Penetapan kali ini tercatat sebagai rapat perdana KPU Kotamobagu Periode 2013-2018, termasuk penulis. Keempat, pada tanggal 28 November 2013 KPU RI kembali mengeluarkan Surat Edaran terkait penyempurnaan DPT. Isinya KPU diminta kembali melakukan rapat pleno terbuka menetapkan DPT hasil penyempurnaan. Alhasil, dari data yang masuk dari operator Sidalih KPU Kota Kotamobagu, jumlah pemilih di Kotamobagu kembali berubah dari 91.141 menjadi 90.557 pemilih. Kelima, Pleno tanggal 18 Januari 2014. Disini Bawaslu merekomendasikan penyempurnaan DPT, terutama terkait dengan NIK invalid. Keputusan Rapat pleno tertuang dalam berita acara Nomor: 51/BA/KPU-KK/XI/2013. Jumlah pemilih lagi-lagi mengalami penyusutan dari 90.557 menjadi 90.453 pemilih. Keenam, Pleni tanggal 8 Februari 2014. Kali ini hanya fokus pada para pemilih di rumah tahanan (Rutan) Kotamobagu. Hasilnya sebanyak 205 penghuni Rutan, termasuk petugas dan sipir, yang berasal dari berbagai daerah di Bolaang Mongondow Raya masuk DPT Kotamobagu; (1). Kota Kotamobagu 25 orang, (2). Kabupaten Bolaang Mongondow 93 orang, (3). Kabupaten Bolaang Mongondow Timur 30 orang, (4). Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan 12 orang, (5). Kabupaten Bolaang Mongondow Utara 18 orang. Ketujuh, Pleno tanggal 18 Maret 2014, dimana KPU Kota Kotamobagu kembali menetapkan DPT hasil perbaikan. Di masa ini KPU bersama Panwaslu dan PPS se-Kota Kotamobagu berhasil mengidentifikasi beberapa temuan baru, yakni; 4 pemilih meninggal, 3 pemilih dinyatakan belum cukup umur, 466 fiktif atau tidak dikenal, 97 pindah domisili dan 10 pemilih ganda. Bersyukur setelah kejadian di Pemilu 2014 tersebut, pleno ulang-ulang kali tidak pernah terjadi lagi di pemilihan berikutnya; Pilkada 2015, Pilkada 2017 dan Pilkada 2018. Harapan tentunya di Pemilu 2019 yang saat ini masih dalam fase daftar pemilih sementara (DPS) pun demikian. Karena memang secara keseluruhan Sidalih sudah bisa dirasakan manfaatnya, efisien dan efektif. Kalaupun ada perubahan-perubahan itu semata karena persoalan data pemilih bersifat dinamis sebagaimana perkembangan dan dinamisnya penduduk; ada yang meninggal, ada yang pensiun, ada yang baru berumur 17 tahun, ada yang baru membuat KTP-el meski usianya sudah lebih dari 17 tahun, dan seterusnya. Tugas kita adalah meminimalisir kesalahan, kalaupun tidak bisa seratus persen menjadikan data pemilih yang ada di Sidalih akurat, valid dan berkualitas. (***) Penulis: Ketua Divisi Perencanaan dan Data KPU Kota Kotamobagu.

Populer

Belum ada data.